Urgensi Literasi Hukum bagi Pendidik di Indonesia

Peserta didik menulis. Gambar oleh kp yamu Jayanath dari Pixabay

Pemahaman tentang hukum seringkali hanya dipahami oleh segelintir orang yang mendalami ilmu sosial humaniora yang berfokus pada regulasi dan peraturan perundang-undangan. Baik itu bagi banyak  orang yang berlatar belakang ilmu hukum, politik, kebijakan publik, dan beberapa bidang lainnya yang bersinggungan dengan hukum. Pendidik dalam bidang-bidang tersebut tentunya memahami tentang hak dan kewajibannya. Masalah yang terjadi di masa kini adalah permasalahan bagi para pendidik yang murni jarang bersinggungan dengan ruwetnya berbagai regulasi. Ditambah lagi, hal ini merupakan hal yang cukup berbahaya ketika menyangkut hak dan kewajiban mereka sebagai pendidik. Baik sebagai guru, dosen, hingga pengajar-pengajar lainnya yang telah berkontribusi besar di dalam dunia pendidikan Indonesia.

Definisi Literasi Hukum bagi Pendidik

Untuk memahami secara utuh konsep literasi hukum bagi pendidik, penting untuk terlebih dahulu menelusuri evolusi makna "literasi" itu sendiri. Secara tradisional, literasi dipahami sebagai kemampuan dasar individu untuk membaca dan menulis. Namun, seiring dengan perkembangan teknologi dan pergeseran budaya informasi, definisi ini telah meluas secara signifikan. Literasi modern tidak lagi hanya berfokus pada kemampuan teknis membaca, tetapi melibatkan kapabilitas yang lebih tinggi, yaitu kemampuan untuk memahami, menafsirkan, menganalisis, menerapkan informasi dari berbagai sumber, dan berpikir secara kritis.

Berangkat dari pemahaman modern ini, literasi hukum atau legal literacy juga melampaui sekadar pengetahuan hafalan atas pasal-pasal dalam peraturan perundang-undangan. Bukan hanya sebagai pengetahuan tentang hukum, tetapi juga sebagai "kemampuan untuk memahami, menganalisis, dan menginterpretasi informasi hukum" dalam konteks kehidupan sehari-hari. Dengan demikian, literasi hukum adalah sebuah kapabilitas aktif yang memberdayakan individu untuk sadar akan hak dan kewajiban mereka, serta untuk menavigasi sistem hukum secara efektif.

Maka literasi hukum bagi pendidik dapat dijelaskan sebagai sebuah kapabilitas profesional yang terintegrasi, mencakup pemahaman mendalam atas hak dan kewajiban hukum yang melekat pada profesinya; kemampuan untuk menerapkan pengetahuan tersebut dalam pengambilan keputusan pedagogis, administratif, dan disipliner sehari-hari; serta kecakapan untuk secara proaktif mengidentifikasi, memitigasi, dan merespons risiko hukum guna melindungi diri sendiri, peserta didik, dan institusi pendidikan.

Fungsi Literasi Hukum bagi Pendidik

Dr. Mui Kim Teh, seorang ahli Hukum Pendidikan dari Australia menyampaikan sebuah argumen dalam artikel jurnalnya berjudul The Case for Legal Literacy for Educators bahwa: 

Educators do not need an in-depth study of law, but they need to know enough to make good decisions and to respond appropriately to situations”. 

Dari pernyataan tersebut diketahui bahwa pendidik sesungguhnya tidak perlu mempelajari hukum secara mendalam, tetapi mereka perlu mengetahui secukupnya agar dapat mengambil keputusan yang tepat dan merespons situasi dengan baik.

Pernyataan tersebut mencakup sebuah penjelasan tentang fungsi utama literasi hukum bagi pendidik, yakni agar mereka dapat membuat keputusan yang baik dan dapat menyesuaikan diri dalam berbagai situasi yang ada ketika berada dalam sebuah lingkungan pendidikan. Pendidik tidak perlu menjadi ahli hukum, tetapi memiliki literasi hukum dasar merupakan hal yang penting untuk menunjang profesionalisme. Pengetahuan ini memungkinkan pendidik memahami hak dan kewajiban guru, siswa, serta sekolah; memastikan keputusan yang diambil adil dan sesuai aturan; serta merespons berbagai situasi, sebagai contoh seperti pelanggaran disiplin, perundungan, atau diskriminasi secara tepat. Dengan literasi hukum yang memadai, pendidik dapat menghindari risiko pelanggaran hukum dan melindungi kepentingan semua pihak yang terlibat dalam proses pendidikan.

Selain itu, literasi hukum berperan dalam membangun budaya sadar hukum di lingkungan sekolah. Pendidik yang memahami prinsip-prinsip hukum mampu menciptakan ruang belajar yang aman, inklusif, dan berintegritas. Hal ini tidak hanya mencegah konflik, tetapi juga menanamkan nilai-nilai keadilan, kepatuhan pada aturan, dan tanggung jawab kepada peserta didik, sehingga sekolah dapat menjadi tempat pembentukan karakter yang sejalan dengan tujuan pendidikan nasional.

Beberapa Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia yang Wajib Diketahui oleh Pendidik di Indonesia

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas)

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) merupakan payung hukum yang mengatur keseluruhan sistem pendidikan di Indonesia. Bagi pendidik, memahami UU ini penting agar tindakan profesional mereka selaras dengan tujuan pendidikan nasional. Salah satu aspek mendasar yang perlu diperhatikan adalah Tujuan Pendidikan Nasional, yaitu mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, dan mandiri. Tujuan ini menjadi landasan moral dan arah setiap proses pembelajaran yang dilakukan di sekolah.

Selain itu, pendidik juga perlu memahami Pasal 40 UU Sisdiknas yang mengatur hak dan kewajiban mereka. Dari sisi hak, pendidik berhak memperoleh penghasilan yang layak, jaminan kesejahteraan sosial, pembinaan karier, serta perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas. Sementara itu, dari sisi kewajiban, pendidik dituntut untuk menciptakan suasana pendidikan yang bermakna, menyenangkan, dan memotivasi, memiliki komitmen profesional dalam meningkatkan mutu pendidikan, serta menjadi teladan bagi peserta didik. Pemahaman menyeluruh terhadap ketentuan ini akan membantu pendidik melaksanakan peran mereka secara bertanggung jawab dan sejalan dengan visi pendidikan nasional. 

Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen

Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen merupakan landasan hukum utama bagi profesi pendidik di Indonesia, yang secara resmi mengangkat status guru sebagai profesi yang bermartabat dan dilindungi. Salah satu ketentuan terpenting adalah Pasal 39 yang mewajibkan pemerintah, masyarakat, dan satuan pendidikan memberikan perlindungan hukum, profesi, keselamatan, dan kesehatan kerja bagi guru. Perlindungan ini mencakup perlindungan dari kekerasan, ancaman, diskriminasi, dan perlakuan tidak adil, termasuk dari orang tua peserta didik.

UU ini juga memberikan hak kepada guru untuk menjatuhkan sanksi kepada peserta didik sesuai kaidah pendidikan, kode etik, dan peraturan yang berlaku, sehingga tindakan pendisiplinan memiliki dasar hukum yang jelas. Selain itu, UU ini menegaskan peran organisasi profesi seperti PGRI untuk memberikan bantuan hukum dan dukungan profesional bagi anggotanya.

Peraturan Pemerintah (PP) No. 19 Tahun 2017 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2008 tentang Guru

PP No. 19 Tahun 2017 ini merupakan peraturan pelaksana yang memberikan rincian teknis dari ketentuan dalam UU Nomor 14 Tahun 2005. PP ini penting dipahami pendidik karena mengatur secara detail berbagai aspek profesi guru. Salah satu poin utama adalah beban kerja guru, yang mencakup perencanaan, pelaksanaan, dan penilaian pembelajaran.

Selain itu, PP ini juga mengatur pengembangan profesional guru melalui penilaian kinerja, mekanisme promosi, serta pemberian penghargaan bagi guru berprestasi. PP ini juga menegaskan kebebasan akademik guru, termasuk kebebasan dalam memberikan penilaian terhadap peserta didik serta perlindungan atas hak kekayaan intelektual yang dihasilkan dalam kegiatan profesionalnya.

Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 46 Tahun 2023 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan

Permendikbudristek No. 46 Tahun 2023 ini mengatur secara komprehensif upaya pencegahan dan penanganan kekerasan di lingkungan pendidikan. Sasaran peraturan ini mencakup peserta didik, pendidik, tenaga kependidikan, orang tua/wali, komite sekolah, dan masyarakat. Lingkupnya meliputi satuan pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah, baik pada jalur pendidikan formal maupun nonformal. Kekerasan yang diatur mencakup kejadian di dalam lokasi sekolah, dalam kegiatan sekolah yang dilakukan di luar lokasi, maupun yang melibatkan lebih dari satu satuan pendidikan.

Bentuk kekerasan yang diatur meliputi kekerasan fisik, psikis, perundungan, kekerasan seksual, diskriminasi, intoleransi, kebijakan yang mengandung kekerasan, serta bentuk kekerasan lain yang dapat terjadi secara fisik, verbal, nonverbal, maupun melalui media teknologi informasi dan komunikasi. Peraturan ini juga mengamanatkan pembentukan Tim Pencegahan dan Penanganan Kekerasan (TPPK) di satuan pendidikan serta Satuan Tugas di tingkat pemerintah daerah. Penanganan kekerasan dilakukan melalui tahapan yang jelas, yaitu penerimaan laporan, pemeriksaan, penyusunan kesimpulan dan rekomendasi, tindak lanjut, serta pemulihan bagi korban. Selain itu, peraturan ini memuat ketentuan tentang pengenaan sanksi administratif bagi pelaku atau pihak yang lalai melaksanakan kewajiban pencegahan dan penanganan kekerasan.

Upaya Mendorong Literasi Hukum bagi Pendidik

Menggalakkan literasi hukum bagi pendidik merupakan langkah penting untuk memastikan guru dapat menjalankan peran profesionalnya dengan baik. Upaya ini dapat dilakukan melalui pelatihan dan sosialisasi regulasi pendidikan, seperti UU Sisdiknas, UU Guru dan Dosen, PP tentang Guru, serta Permendikbudristek terkait pencegahan kekerasan. Pendidik perlu dibekali pengetahuan praktis mengenai hak, kewajiban, perlindungan hukum, dan mekanisme penyelesaian masalah sehingga mampu mengambil keputusan yang sesuai aturan dan melindungi semua pihak di lingkungan sekolah.

Selain itu, kolaborasi antara pemerintah, organisasi profesi, dan institusi pendidikan menjadi kunci keberhasilan literasi hukum. Program seperti lokakarya, seminar, modul pembelajaran, dan pendampingan hukum dapat membantu guru memahami konteks hukum secara berkelanjutan. Dengan literasi hukum yang memadai, pendidik tidak hanya terlindungi secara pribadi, tetapi juga mampu menciptakan budaya sekolah yang aman, inklusif, dan sejalan dengan tujuan pendidikan nasional.

Penutup

Literasi hukum bagi pendidik bukanlah sekadar tambahan pengetahuan, melainkan kebutuhan mendasar untuk mendukung profesionalisme dan perlindungan diri mereka dalam menjalankan tugas. Dengan memahami hak, kewajiban, dan mekanisme hukum yang berlaku, pendidik dapat mengambil keputusan yang adil, menghindari konflik, serta melindungi peserta didik dari pelanggaran hak.

Lebih jauh, literasi hukum berkontribusi membangun ekosistem pendidikan yang aman, inklusif, dan berintegritas. Upaya penguatan literasi hukum melalui pelatihan, sosialisasi regulasi, serta dukungan dari pemerintah dan organisasi profesi perlu terus dilakukan secara berkelanjutan. Dengan demikian, pendidik dapat menjadi agen perubahan yang tidak hanya mendidik secara akademis, tetapi juga menanamkan kesadaran hukum kepada generasi muda, sejalan dengan tujuan pendidikan nasional.

Referensi

Airell, Ansgarius. "Psikologi Hukum Dalam Pendidikan: Sebuah Kajian Literasi." Bureaucracy Journal: Indonesia Journal of Law and Social-Political Governance 3, no. 3 (2023): 2981-2989.

Schimmel, David, and Matthew Militello. "Legal literacy for teachers: A neglected responsibility." Harvard Educational Review 77, no. 3 (2007): 257-284.

Teh, Mui Kim. "The case for legal literacy for educators." Educ. LJ (2014): 252.


Komentar

Terjemahkan